Di dalam hasil keputusan Bahtsul Masail NU Jawa
Timur di Jember, tahun 2002, para kyai-kyai NU menyatakan, golongan aswaja
adalah golongan umat Islam yang selalu berpegang teguh pada kitab Allah SWT,
dan sunnah Rasul serta cara sahabat Nabi dalam melaksanakan petunjuk Al-Qur’an
dan Al- Hadits.[1]
Dr. Said Aqil Siraj mengatakan, bahwa selama
seseorang berpikirnya masih berpijak dari al-Qur’an dan al-Hadits, maka
termasuk aswaja. Jadi aswaja itu tidak hanya terdiri dari tiga jalur, aqidah,
fiqih, dan tasawuf dengan tokoh-tokohnya yang terbatas. Menurut dia, asal
seseorang itu beriman kepada Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya, meyakini
bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai utusan terakhir Allah SWT dengan wahyu yang
diterimanya (Al-Qur’an), dan beriman kepada hari kiamat, maka itulah ajaran
aswaja. Ajaran ini bisa meliputi Mu’tazilah, Syi’ah, Murji’ah, Qodariyah,
Jabariyah dan sebagainya. Sementara tokoh-tokoh seperti Ibn Sina, al-Farabi,
dan pemikir-pemikir yang sealiran, tidak termasuk katagori aswaja, karena cara
berpikirnya tidak berangkat dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kesimpulannya, aswaja
menurut pandangan ini bisa mencakup berbagai kelompok Islam dalam jumlah yang
lebih besar.[2]
Adapun KH. Tolhah Hasan mengingatkan agar dalam
mendefinisikan aswaja harus secara utuh agar terhindar dari sikap sektarian
yang sangat sempit. Artinya tidak semata-mata dipahami secara doktrinal saja.
Tetapi harus dilihat dari sisi historis dan kultural.[3] Jadi Aswaja merupakan satu istilah yang
mempunyai banyak makna. Sementara umumnya sekarang ini melihat aswaja hanya
dilihat dari satu versi. Di luar pemahaman tersebut masih ada pemahaman menurut
versi lain. Dengan aswaja dalam versi yang lebih besar, maka NU akan berada
pada titik tengah di antara versi-versi yang ada. Sehingga versi yang makro ini
dapat mencakup pemahaman yang bersifat mikro dari berbagai dimensi dan sudut
pandang sehingga pemahamannya menjadi relatif utuh.
Selanjutnya yang menarik adalah sebagaimana yang
dinyatakan oleh KH. Muchid Muzadi, bahwa alangkah baiknya ada definisi aswaja
“model NU” karena penafsiran aswaja tersebut berbeda-beda.[4] Ada yang berpendapat cukup masalah aqidah
saja, ada yang memperluas sampai pada urusan sosial, ekonomi, budaya, politik,
dan sebagainya. Sementara orang yang di luar NU juga mengaku sebagai ‘aswaja’.
Oleh karena itu NU harus membuat “rumusan aswaja” menurut versinya, agar orang
lain memahami aswaja NU tersebut.
PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG
Ahlusunnah wa al- Jama’ah (aswaja) adalah ajaran mayoritas umat Islam. Ahlusunnah
artinya orang-orang yang berpegang teguh pada sunnah Rasul, dan al-jama’ah
adalah golongan besar umat, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat
Rasul SAW pada masa sahabat empat (Khulafaur Rasyidin).[5] Ajaran ini dibangun oleh Abu Hasan
Al-Asy’ari pada hari Jumat tahun 295 H di masjid Jami’ Bashrah saat
ia menyatakan keluar dari golongan Mu’tazilah karena paham-pahamnya dinilai
tidak dapat dipertahankan lagi.[6] Dia menyatakan kembali ke paham
ajaran-ajaran salaf yang berpegang pada sunnah Rasul, tidak mengandalkan
kebenaran putusan-putusan akal terhadap nash-nash al-Qur’an. Imam
al-Asy’ari memberikan argumentasi-argumentasi yang lazim dipergunakan dalam
ilmu Kalam untuk memperkuat paham salaf. Di tempat lain, Samarkand, ada lagi
yang disebut sebagai pendukung ajaran ini, yaitu Abu Mansur Al-Maturidi
(w.333 H). Dan meskipun demikian, kedua tokoh ini terdapat beberapa segi
pemikiran yang berbeda.
BY.KH.Halimi Firdauzi AL-AGLAF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar