Minggu, 04 Desember 2011

aswaja di hati


Di dalam hasil keputusan Bahtsul Masail NU Jawa Timur di Jember, tahun 2002, para kyai-kyai NU menyatakan, golongan aswaja adalah golongan umat Islam yang selalu berpegang teguh pada kitab Allah SWT, dan sunnah Rasul serta cara sahabat Nabi dalam melaksanakan petunjuk Al-Qur’an dan Al- Hadits.[1]
Dr. Said Aqil Siraj mengatakan, bahwa selama seseorang berpikirnya masih berpijak dari al-Qur’an dan al-Hadits, maka termasuk aswaja. Jadi aswaja itu tidak hanya terdiri dari tiga jalur, aqidah, fiqih, dan tasawuf dengan tokoh-tokohnya yang terbatas. Menurut dia, asal seseorang itu beriman kepada Allah SWT dan tidak menyekutukan-Nya, meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW sebagai utusan terakhir Allah SWT dengan wahyu yang diterimanya (Al-Qur’an), dan beriman kepada hari kiamat, maka itulah ajaran aswaja. Ajaran ini bisa meliputi Mu’tazilah, Syi’ah, Murji’ah, Qodariyah, Jabariyah dan sebagainya. Sementara tokoh-tokoh seperti Ibn Sina, al-Farabi, dan pemikir-pemikir yang sealiran, tidak termasuk katagori aswaja, karena cara berpikirnya tidak berangkat dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Kesimpulannya, aswaja menurut pandangan ini bisa mencakup berbagai kelompok Islam dalam jumlah yang lebih besar.[2]
Adapun KH. Tolhah Hasan mengingatkan agar dalam mendefinisikan aswaja harus secara utuh agar terhindar dari sikap sektarian yang sangat sempit. Artinya tidak semata-mata dipahami secara doktrinal saja. Tetapi harus dilihat dari sisi historis dan kultural.[3] Jadi Aswaja merupakan satu istilah yang mempunyai banyak makna. Sementara umumnya sekarang ini melihat aswaja hanya dilihat dari satu versi. Di luar pemahaman tersebut masih ada pemahaman menurut versi lain. Dengan aswaja dalam versi yang lebih besar, maka NU akan berada pada titik tengah di antara versi-versi yang ada. Sehingga versi yang makro ini dapat mencakup pemahaman yang bersifat mikro dari berbagai dimensi dan sudut pandang sehingga pemahamannya menjadi relatif utuh.
Selanjutnya yang menarik adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh KH. Muchid Muzadi, bahwa alangkah baiknya ada definisi aswaja “model NU” karena  penafsiran aswaja tersebut berbeda-beda.[4] Ada yang berpendapat cukup masalah aqidah saja, ada yang memperluas sampai pada urusan sosial, ekonomi, budaya, politik, dan sebagainya. Sementara orang yang di luar NU juga mengaku sebagai ‘aswaja’. Oleh karena itu NU harus membuat “rumusan aswaja” menurut versinya, agar orang lain memahami aswaja NU tersebut.
PENGERTIAN DAN LATAR BELAKANG
Ahlusunnah wa al- Jama’ah (aswaja) adalah ajaran mayoritas umat Islam. Ahlusunnah artinya orang-orang yang berpegang teguh pada sunnah Rasul, dan al-jama’ah adalah golongan besar umat, yakni apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasul SAW pada masa sahabat empat (Khulafaur Rasyidin).[5] Ajaran ini dibangun oleh Abu Hasan Al-Asy’ari pada hari Jumat tahun 295 H di masjid Jami’ Bashrah saat  ia menyatakan keluar dari golongan Mu’tazilah karena paham-pahamnya dinilai tidak dapat dipertahankan lagi.[6] Dia menyatakan kembali ke paham ajaran-ajaran salaf yang berpegang pada sunnah Rasul, tidak mengandalkan kebenaran putusan-putusan akal terhadap nash-nash al-Qur’an. Imam al-Asy’ari memberikan argumentasi-argumentasi yang lazim dipergunakan dalam ilmu Kalam untuk memperkuat paham salaf. Di tempat lain, Samarkand, ada lagi yang disebut sebagai  pendukung ajaran ini, yaitu Abu Mansur Al-Maturidi (w.333 H). Dan meskipun demikian, kedua tokoh ini terdapat beberapa segi pemikiran yang berbeda.
BY.KH.Halimi Firdauzi AL-AGLAF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar