Senin, 12 Desember 2011

ibu pahlawan

Pahlawan menurut penulis, adalah sosok teladan yang senantiasa dapat kita kenang ataupun panutan yang membimbing dan membesarkan kita, hingga kisah kesehariannya tak kan terlupakan sepanjang hidup. Figur pahlawan ataupun ‘Sang Hero’ yang senantiasa kini penulis lihat, adalah ibu saya. Sepenggal senandung, “Mother-Sami Yusuf”, di atas, tentu mengingatkan bagaimana ibu kita, mengandung kita selama sembilan bulan. Setelah lahir kita dibesarkan dari balita, TK- SD-masa kanak-kanak, SMP-remaja-SMA hingga Perguruan Tinggi dan dewasa. Runtutan pengasuhan kehidupan yang begitu panjang, tentu ibu mencurahkan segenap kasih sayang, dengan mengorbankan waktu, biaya, jiwa maupun raga beliau. Walaupun tentu dalam waktu pengasuhan ibu itu, kita pernah membuat beliau kecewa, marah ataupun tingkah polah kita tak berkenan di hati beliau. Sungguh ibu-pun dapat dianggap pahlawan tanpa tanda jasa. Hingga jika dimasa kini, kita telah mandiri dan berhasil dalam hidup, telah berkeluarga dan mendapatkan rejeki yang cukup, ibu-pun tak mempunyai keinginan mendapatkan balas budi dari kita.
Kisah perjuangan seorang ibu, dalam menjalani kehidupannya tentu dapat memberikan lukisan gambaran sosok pahlawan yang dapat terkenang sepanjang masa. Ketika terdengar kembali lirik lagu, “Mother”, di MP3 saya, kembali saya teringat akan aktifitas keseharian yang dijalani ibu saya. Jika adzan subuh telah berkumandang, ibu telah terbangun. Diawali dengan melakukan sholat subuh, setelah sebelumnya melakukan makan sahur dan dilanjutkan melakukan ibadah puasa di bulan Ramadan 1431 H,ini. Menjelang pukul 05.30 WIB pagi, ibu telah bersiap-siap untuk menjalani aktifitas lainnya, yaitu sebagai pedagang sayur-sayuran dan sembako di pasar tradisional di pusat kota Paris Van Java.
Saya atau pun ayah, biasanya mengantar, ibu ke pasar. Udara pagi di ibu kota provinsi Jawa Barat ini, cukup dingin harus siap kami hadapi. Dengan kendaraan motor roda dua kami berdua berangkat. Diawali mampir dulu ke pasar lokal, di jantung kota Bandung, kami mengambil dagangan yang akan di jual. Saya pun tunggu di tempat parkir. Ibu datangi pedagang relasinya, dengan kesabarannya yang telah teruji, dia minta agar barang yang telah dipesannya diantar ke tempat parkir saya, biasanya diantar oleh seorang laki-laki setengah baya dengan logat jawa ataupun di lain waktu seorang pedagang lokal, dengan dialog khas sunda, menyapa saya dulu, saya pun membalas sapaan-nya, dia pun sambil tersenyum simpul antar barang itu ke jok depan motor saya, tak lupa saya ucapkan terima kasih, dia pun mengganguk. Pernah pula seorang ibu muda yang sopan dan santun, mengantar pesanan barang dagangan ibu saya itu.
Kemudian ibu pun datang, dengan semangat juangnya yang menyala-nyala bak seorang pahlawan, ia bawa barang dagangan yang lain, tanpa dia hiraukan walaupun agak berat, dagangan yang dibawanya dengan sebuah plastik tebal warna hitam. Kekuatan semangatnya itulah, menjadikan energi yang terpancar, tidak dirisaukan ibu, walo jelas terlihat dari keringat yang kadang terlihat menetes di tubuhnya. Akan tetapi, ia tetap bawa dagangan yang dipesan oleh langganannya itu, agar sesuai dengan pesanan semula. Kebetulan diantara beberapa relasi langganan, ibu punya langganan yang mempunyai usaha warung makan dan minuman yang lumayan ramai dan laku. Sehingga ibu tak mau setiap pesanan yang benar-benar dibutuhkan langganan spesialnya ini tidak dapat dilayani dengan memuaskan. Sebab jika mengecewakan, ibu tidak mendapatkan barang pesanan kemungkinan langganan khusus ibu ini, akan berpindah ke pedagang yang lain, dan untuk merintis mendapatkan langganan yang baru, tentu tidak mudah butuh perjuangan panjang.
***
Selanjutnya kami berdua berangkat ke pasar tempat ibu berdagang, perjalanan kurang lebih duapuluh menit kami jalani di bulan Ramadan yang penuh keberkahan ini, dengan kemacetan di beberapa tempat di jalan-jalan kota Bandung, menjadi pemandangan yang khas waktu jam sibuk antara jam 06.00-07.00 WIB, pagi. Walaupun di awal Ramadan yang mulai berlaku rabu 11/8/10, justru jalanan masih lengang, sebab rekan-rekan yang mempunyai putra-putrinya bersekolah masih libur. Tentu saya berhati-hati mengemudikan kendaraan mengantisipasi keadaan ini, sebab angkutan kota, motor maupun mobil pribadi saling bersaing menuju tujuan masing-masing. Sesampai dilokasi tempat ibu menjemput rezeki saya hentikan sepeda motor. Kemudian ibu membawa barang pesanan ke jongkok atau warung tempat ibu jualan. Dalam perjalanan itu, dengan senyumnya maupun sapaan ibu yang khas menyapa pedagang-pedagang yang lain.
Kemudian ibu membuka warung, dibantu oleh ayah. Ayah kebetulan telah memasuki masa pensiun suatu instansi hingga dapat membantu. Menjelang jam 06.30 WIB pagi, biasanya ada langganan yang datang ke warung, membeli sayur-sayuran mentah ataupun mengambil barang pesanannya. Ibu yang supel dan ramah terlihat dari guratan wajahnya, selalu melayani langgangannya dengan sikap yang sopan. Sewaktu ibu mengadakan transaksi dagang dengan pembeli ataupun langganannya, biasanya disertai tawar menawar harga ataupun ngobrol tentang keluarga ataupun masalah yang sedang hangat menyertai perbincangan itu. Berkat sikap yang sabar, ulet dan semangat tak kenal menyerah, dengan ‘dagangan’ itulah ibu dapat membiayaiku untuk menempuh sekolah hingga pendidikan tinggi dan mengantarku bersama adik-adik untuk dapat hidup mandiri.
***
Yang saya salut pada ibu, walo dia capek, dan wajah sepuh dah nampak pada tubuhnya, jika ada masalah dengan dagangannya, ia selalu sabar mencari solusi penyelesaian klasikal jika dagang. Yakni, fluktuatif hasil berdagang antara untung dan rugi yang didapat tiap hari, minggu ataupun bulanannya. Sekarang usia ibu telah mencapai lima puluh tahunan lebih. Di bulan Ramadan 1431 H- Agustus-September 2010 ini, ibu-pun masih aktif menjajakan dagangannya, sebab di musim shaum-puasa, perdagangan sembako, sayur-mayur justru laku, pembeli justru banyak yang merelakan waktunya untuk ke warung ibu, hingga ibu-pun senantiasa sumringah dari gurat wajahnya, ketika akan berangkat di pagi hari ataupun di sore hari, seraya sambil bersyukur, Alhamdullilah, dagangan cepat laku, jika puasa tiba, “Ucapnya pada saya.”
Dari kisah tentang ibu saya ini, tentu mengingatkan saya pada sebuah hadis Nabi Muhammad SAW, yakni : “Seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam : “Siapakah orang yang paling berhak aku perlakukan dengan baik? “ Beliau menjawab: ”Ibumu”, . “Kemudian siapa?” “Ibumu”. “Lalu?”, “Ibumu”, ”baru kemudian Bapakmu dan keluarga terdekat yang lain”, tegas Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. (HR. Bukhari dan Muslim). Tentulah bagi yang masih mempunyai ibu, diharapkan limpahan curahan kasih sayang kita pada nya masih tercurah, sebab dari-nya- lah kasih sayang itu tertanam pada diri kita, begitu pula sifat kepahlawanan ibu yang benar-benar tanpa kenal lelah memperjuangkan kehidupan kita. Sedangkan apabila ibu telah tiada, hendaknya doa kita terus tercurah pada- Nya. (IyS/12/8/10)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar