Sistem pemahaman Aqidah Islamiyyah menurut
Ahlussunnah wal Jamaah sebenarnya hanyalah merupakan kelangsungan disain yang
dilakukan sejak zaman Rasulullah saw dan Khulafa’ur-rosyidin. Tetapi system
pemahan ini baru menonjol setelah abad ke-2 H, yaitu setelah lahirnya madzhab
Mu’tazilah. Dalam konteks sejarah para imam Ahlussunnah wal Jama’ah dalam
bidang aqidah atau Ilmu Kalam telah ada sejak zaman sahabat Nabi Muhammad saw. Imam
Ahlussunnah wal Jamaah pada saat itu adalah Ali bin Abi Tholib, yang berjasa
membendung pendapat golongan Khowarij tentang al-Wa’du wal Wa’id (janji
dan ancaman) dan membendung pendapat golongan Qodariyah tentang masyi’ah dan
Istitho’ah (kehendak tuhan dan daya manusia), serta kebebasan berkehendak dan
kebebasan berbuat. Selain Sayyidina Ali, masih ada Abdullah bin Amr yang
menolak pendapat Ma’bad al-Juhani tentang kebebasan berkehendak bagi manusia.
Di era tabi’in, muncul beberapa
imam yang mngemban misi Ahlussunnah wal Jamaah, diantaranya, Umar bin Abdul
Aziz dengan Risalahnya “Risalah Balighoh fir Rodd ‘alal Qodariyyah, Zaid bin
Ali Zainal Abidin, Hasan al-Bashri, as-Sya’bi dan az-Zuhri. Setelah generasi
ini, muncul imam Ja’far bin Muhammad Shodiq. Dari ulama-ulama fiqh dan imam
madzhab juga ada yang ikut-ikut meng-counter paham-paham yang melenceng ini,
diantaranya, imam Abu Hanifah dengan karyanya al-Fiqhul Akbar, Imam
Syafi’I dengan karyanya Fi Tashhihin Nubuwwah war Rodd ‘alal Barohimah
dan ar-Rodd ‘alal Ahwa.
Setelah periode imam Syafi’i,
muncul muridnya yang berhasil menyusun paham aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, di
antaranya Abul Abbas ibnu Suraij. Generasi sesudah itu baru muncul imam Abul
Hasan al-Asy’ari yang popular sebagai salah seorang penyelamat aqidah keimanan,
lantaran keberhasilannya membendung paham Mu’tazilah.
Dari mata rantai data di atas,
yang sekaligus sebagai dalil histories, dapat dikatakan bahwa aqidah
Ahlussunnah wal Jamaah secara substansif telah ada sejak zaman sahabat. Artinya
paham Ahlussunnah wal Jamaah tidak sepenuhnya bawaan Abul Hasan al-Asy’ari.
Sedangkan apa yang dilakukan oleh imam Abul Hasan al-Asy’ari adalah menyusun
doktrin paham Ahlussunnah wal Jama’ah secara sistematis, sehingga menjadi
pedoman atau madzhab umat Islam. Sesuai dengan kehadirannya sebagai reaksi
terhadap munculnya paham-paham yang ada pada zaman itu.
Corak khusus madzhab Ahlussunnah
wal Jama’ah ini adalah lebih mengedepankan al-Qur’an dan al-Hadits
daripada Akal. Artinya akal harus sesuai dengan al-Qur’an dan
al-Hadits, bukan al-Qur’an dan al-Hadits yang disesuaikan dengan akal. Dalam
bidang Tauhid atau Aqidah, Para ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan dua
istilah dalil, yaitu dalil Naqli dan dalil Aqli.
Dalil Naqli merupakan dalil yang di ambil langsung dari al-Qur’an dan
al-Hadits, sementara dalil Aqli adalah dalil yang berdasarkan pemikiran akal
yang sehat. Sebagaimana pendapat imamul a’dzom Abul Hasan Ali bin Ismail
al-Asy’ari yang memposisikan al-Qur’an dan al-Hadits pada posisi primer,
sementara Akal diletakkan pada posisi sekunder. Hal ini sangat berseberangan
dengan madzhab Mu’tazilah yang cenderung memposisikan akal di atas
segala-galanya.
Imam Abu Hasan al-Asy’ari
(260-324 H) asalnya adalah pengikut setia golongan mu’tazilah. Tetapi semakin
menekuni ajaran Mu’tazilah, beliau semakin melihat banyaknya celah dan
kelemahan yang ada dalam ajaran-ajarannya, akhirnya ketika berusia 40 tahun
beliau memutuskan dan menyatakan keluar dari Mu’tazilah. Tetapi jalan yang di
hadapinya setelah itu tidaklah licin dan tanpa hambatan. Sebagai bekas
Mu’tazilah dan masih dalam skup yang sama, yaitu menggunakan metode filsafat
dalam argumentasi-argumentasinya. Bagi sebagian orang beliau masih tetap mencurigakan
dengan pemikiran-pemikirannya, bahkan tidak sedikit orang yang menuduhnya
menyeleweng dan kafir. Dalam karya-karya tulisnya yang terkenal seperti, al-Ibanatu
‘an Ushulid Diyanah, Risalah fi Istihsanil Khoudl fi Ilmil Kalam, al-Luma’ dan
Maqolatul Islamiyyin Wakhtilaful Mushollin, menggambarkan betapa imam
Asy’ari membela diri dari serangan berbagai kalangan dan bagaimana dalam
perjuangannya mengkonsolidasikan pendapat-pendapatnya, dan seruan-seruannya
tentang betapa pentingnya mempelajari Ilmu Kalam.
Perumus paham Ahlussunnah wal
Jama’ah dalam bidang aqidah selain imam Asy’ari adalah Abu Manshur Muhammad bin
Muhammad bin Mahmud al-Maturidi atau lebih dikenal dengan sebutan imam
Maturidi. Beliau lahir di daerah Maturid dan wafat di Samarkand pada tahun
333 H. Beliau adalah pengikut madzhab Hanafi. Maturidiyah dan Asy’ariyah
dilahirkan dalam kondisi social dan pemikiran yang serupa. Kedua aliran ini
datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan agar mengambil sikap
tengah di antara ekstrimitas kaum rasionalis dan ekstimitan kaum tekstualis (tawasuth
Bainat Tafrith wal Ifroth). Keduanya secara bersama-sama membendung dua
kecenderungan ekstrimitas dalam pemikiran Islam yang melanda kala itu. Kalaupun
keduanya kadang ada perbedaan pendapat, itu hanyalah dalam hal yang menyangkut
masalah cabang dan detailitas semata.
Ibnu Hajar al-Haitami dalam
kitab Tathhirul Janan wal Lisan berkata, Jika dikatakan siapakah yang
dimaksud Ahlissunnah, maka yang dimaksud adalah para pengikut Abil Hasan
al-Asy’ari dan Abi Manshur al-Maturidi. Keduanya adalah pelopor gerakan
Ahlussunnah wal Jama’ah dalam ilmu Tauhid. Bahkan Ibnu Taimiyah mengakui akan
jasa golongan Asy’ariyah dalam rangka menyelamatkan sendi-sendi ajaran Islam,
sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Fatawi-nya dari pernyataan Abu
Muhammad al-Juwaini, “Para Ulama’ adalah penolong ilmu-ilmu agama, sedangkan
Asya’iroh adalah para penolong ushuluddin”.
Sumber. Risalah NU, Fiqh
Tradisional (KH. Muhyiddin Abdusshomad). Pegangan Praktis Faham Ahlussunnah wal
Jama’ah (PP LDNU), Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia. Sejarah,
Pemikiran, dan Dinamika Nahdlotul Ulama, dll.
BY.KH.Halimi Firdauzi AL-AGLAF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar