Bidang Aqidah (Kalam)
Umat Islam di Indonesia yang merupakan penduduk
muslim terbesar di dunia, di bidang aqidah, pada umumnya menganut ajaran
Imam Al-Asy’ari, kemudian Imam Al-Maturidi. Kedua tokoh ini terkenal dengan
pemikirannya yang moderat, menengahi aliran Jabariyyah yang berfaham fatalis
dan qadari yang berfaham free will-free act seperti Mu’tazilah
dan Syi’ah.
Memang dalam perjalanannya, Muktazilah telah
mendapatkan tantangan besar dalam mengembangkan pemikiran teologinya. Sehingga
dalam dekade berikutnya telah mengalami penurunan. Tantangan tersebut berasal
dari tokoh ‘aswaja’ yaitu Imam Asy’ari di Baghdad, dan Imam Maturidi di
Samarkand. Ini bisa dilihat dari persamaan pemikiran dari kedua tokoh ini,
seperti, Tuhan dapat dilihat di akhirat, Kalam Tuhan Qadim,
adanya Sifat Tuhan, Syafa’at, Hukum orang mukmin melakukan dosa besar,
adanya siksa kubur, Telaga Kautsar,[20] dan lain-lain, yang semua ini
bertentangan dengan paham Mu’tazilah.
Meskipun keduanya adalah tokoh sentral ajaran ahlu
sunnah wa al-Jama’ah yang banyak persamaan dalam pemikiran teologi, tetapi
juga ada perbedaan antara keduanya. Misalnya, Al-Asy’ari pengikut madzhab Imam
Syafi’i, sedangkan Al-Maturidi pengikut Imam Hanafi.[21] Kemudian dalam masalah perbuatan manusia
misalnya, Al-asy’ari menyatakan bahwa perbuatan manusia tidaklah diwujudkan
oleh manusia saja, tetapi juga diciptakan oleh Alllah. Sementara Al-Maturidi
berpandangan sebaliknya, bahwa manusialah yang mewujudkan perbuatan-perbuatan
itu, tetapi hakikatnya tetap dari Allah SWT. Namun demikian, kedua tokoh ini
lahir bertujuan untuk membendung paham Mu’tazilah.
Dua Imam yang agung ini (Al-Asy’ari dan
Al-Maturidi), telah menjelaskan ajaran ‘aswaja’ yang diyakini para sahabat Nabi
SAW dan orang-orang yang mengikuti mereka, dengan mengemukakan dalili-dalil naqli
(Al-Qur’an dan Al-Hadits) dan aqli (dalil rasional) dengan
bantahan-bantahan terhadap syubhah-syubhah (sesuatu yang dilontarkan
untuk mengaburkan hal yang sebenarnya) golongan Muktazilah. Jalan yang
ditempuh oleh Al-Asy’ari dan Al- Maturidi dalam pokok-pokok akidah adalah sama
dan satu, sehingga ahlusunnah waljama’ah dinisbatkan terhadap keduanya.
Mereka (kelompok ahlusunnah) akhirnya dikenal dengan nama Asy’ariyyah (para
pengikut Al-Asy’ari), dan Maturidiyyah (para pengikut Al-Maturidi). Dan
mereka adalah ratusan juta umat, golongan mayoritas. Pengikutnya banyak dari
kalangan madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan orang-orang utama dari kalangan
madzhab Hanbali (Fudhala’ al-Hanabilah). Sementara Rasulullah SAW
sendiri telah memberitahukan bahwa mayoritas umatnya tidak akan sesat.
Adapun perbedaan mendasar pemikiran Al-Asy’ari dan
Muktazilah adalah terletak pada kekuatan akal. Sebagaimana kita ketahui bahwa
Muktazilah sangat mengagung-agungkan akal, dan berpendapat bahwa ‘akal’ manusia
dapat sampai kepada dua ajaran dasar dalam agama, yaitu adanya Tuhan dan
masalah kebaikan dan kejahatan. Setelah sampai kepada adanya Tuhan, dan
apa yang disebut dengan baik dan jahat. ‘Akal’ manusia dapat pula
mengetahui kewajibannya terhadap Tuhan, dan kewajibannya untuk berbuat
baik dan kewajiban untuk menjahui dari perbuatan jahat. Adapun
status wahyu dalam ‘empat’ hal ini hanya untuk memperkuat pendapat ‘akal’ dan
untuk memberi perincian tentang apa-apa yang telah diketahuinya itu.
Al-Asy’ari beserta pengikutnya (Asy’ariyyah),
berpendapat bahwa ‘akal’ tidak begitu besar daya kekuatannya. Dan dalam ‘empat’
masalah di atas, ‘akal’ hanya sampai kepada adanya Tuhan. Sedangkan
masalah kewajiban manusia terhadap Tuhan, perbuatan baik dan jahat,
kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjahui perbuatan jahat, itu
diketahui manusia dengan melalui ‘wahyu’ yang diturunkan Tuhan melalui para
Nabi dan Rasul.
Sehingga dapat disimpulkan, kalau Muktazilah
banyak percaya pada kekuatan akal, sedangkan kaum Asy’ariyyah banyak
bergantung pada wahyu. Sikap yang dipakai Muktazilah adalah mempergunakan akal
dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas ‘wahyu’ sesuai dengan
pendapat akal. Sedangkan Asy’ariyyah sebaliknya. Mereka lebih
mendahulukan ‘wahyu’ dan kemudian membawanya kepada argumen-argumen yang
rasional untuk teks wahyu tersebut.
Di sinilah, di bidang Aqidah (teologi), NU
mengambil jalan untuk memilih faham Imam Al-Asy’ari dan Imam Al-Maturidi
beserta pengikut-pengikutnya. Sekalipun dalam realitanya, NU lebih condong
kepada Al-Asy’ari.[22] Hal ini tidak bisa dipungkiri, mengingat
literatur ajaran al-Maturidi dan Maturidiyyah[23] tidak sebanyak literatur ajaran
Al-Asy’ari dan Asy’ariyyah. Di samping pula, tokoh-tokoh penerus
Al-Asy’ari seperti, Al-Juwaini (Imam Haramain), Al-Baqillani, Al-Syahrastani,
dan terutama Imam Ghazali yang sangat luas pengaruhnya di dunia Islam,
lebih dikenal oleh ulama-ulama NU, dari pada para penerus Al-Maturidi seperti Al-Bazdawi
(w. 390 H), Najm Al-Din Al-Nasafi (w. 537 H), Hasan Ali bin Said
al-Rasthaghfani, Abu al-Laits al-Bukhari, dan lain-lain.
BY.KH.Halimi Firdauzi AL-AGLAF